AI meresahkan manusia atau membantu manusia ?
--
Sejak setahun terakhir, tiba tiba perkembangan AI terasa semakin cepat, september 2022 muncul stable difussion, yaitu AI yang dapat membuat gambar dengan cara mengetik prompt, lalu november 2022 muncul chat GPT yang dapat meresponse pertanyaan dari pengguna persis seperti manusia. Sebelumnya AI untuk menterjemahkan , membuat kontent artikel, membuat musik, membuat puisi, meringkas berita, membuat coding, mengklasifikasikan spam, kategori konten, rekomendasi konten juga semakin baik cara kerjanya. AI kini mampu melakukan tugas yang dikerjakan manusia menjadi semakin cepat.
Karena Perkembangan teknologi AI semakin cepat dan kemampuan AI dalam melakukan tugas-tugas yang sebelumnya hanya dapat dilakukan oleh manusia semakin meningkat, justru Hal ini menimbulkan kekhawatiran bahwa pada suatu saat nanti, AI dapat menggantikan pekerjaan manusia dan mengakibatkan pengangguran yang lebih tinggi.
Bayangkan bila profesi anda penterjemah, lalu perlahan-lahan job pekerjaan anda berkurang , karena client anda lebih memilih AI dan hanya menugaskan anda untuk melakukan penilaian / koreksi terhadap hasil pekerjaan AI. Bayangkan bila profesi anda penulis, copy writing, Pekerjaan anda juga tiba-tiba mulai berkurang karena client memilih AI tools untuk melakukan pekerjaan tersebut. Bayangkan bila profesi anda sebagai programmer, perlahan-lahan kebutuhan programmer berkurang, karena ada AI tools yang dapat melakukan generate code. Demikian juga dengan profesi artist / designer graphics, voice over, penulis cerita / naskah. Apakah hal ini dapat meresahkan ?
Coba kita lihat dari sisi lain, profesi anda penterjemah, 1 dokumen tebal yang biasanya memerlukan waktu 1/2 hari, lalu anda dibantu dengan AI, tiba-tiba dapat meringkas pekerjaan anda menjadi 30 menit. Bayangkan bila profesi anda penulis, lalu anda sering kehilangan ide, anda minta bantuan AI untuk mendapatkan ide dan menyelesaikan penulisan. Anda memperbaiki beberapa kalimat yang dihasilkan AI yang rasa anda aneh. Pekerjaan yang tadinya membutuhkan 6 jam, ternyata bisa anda selesaikan dalam waktu 15 menit. Bayangkan bila profesi anda artist graphic designer, tiba-tiba ide anda mentok, gaya anda itu-itu saja, lalu ada AI Tools yang membantu anda membuatkan 50 alternatif gambar sekaligus, dan anda dapat menggunakan referensi tersebut menjadi design baru dengan style ciri khas unik anda. Bayangkan bila profesi anda programmer, anda mengalami masalah, dan mencari solusi di stackoverflow dan googling, anda berusaha , dan akhirnya dalam waktu 2 jam , masalah anda selesai. Lalu anda menggunakan tools AI github copilot, dan AI tersebut membuatkan coding baru yang memperbaiki coding anda dalam waktu 1 menit saja. Dari kejadian tersebut, apakah AI tools itu membantu atau justru meresahkan anda ?.
Kehadiran AI ternyata juga meresahkan institusi pendidikan SD, SMP, SMA dan perguruan tinggi. Staf pengajar mengkhawatirkan anak murid akan menggunakan AI tools untuk mengerjakan tugas pekerjaan rumah mereka. Murid menggunakan AI tools karena membantu tugas PR mereka, yang tadinya mengerjakan PR perlu waktu 2 jam, dengan bertanya ke chat GPT . mereka dapat mengerjakan seketika 5–10 menit saja. Suatu penghematan waktu, tapi bagaimana dengan daya kritis/ daya nalar mereka? , Apakah AI membantu pola pikir, mindset , logika penggunanya ?.
AI Tools itu seperti kalkulator, tersedia di mana saja, dan dapat digunakan siapa saja dengan harga nyaris gratis. Dengan kalkulator, Pengguna dapat menambahkan, mengalikan, mengurangi, membagi bilangan apa saja dengan cepat dan mudah, ketimbang berpikir, menggunakan pulpen, dan berhitung di atas kertas. Lalu kenapa penggunaan kalkulator diperbolehkan ? karena diyakini, siswa/murid sudah memahami konsep penambahan, pengulangan, perkalian dan pembagian.
Bayangkan bila ada soal seperti berikut. Di suatu sekolah di suatu kelas, ada 6 meja horizontal dan 5 meja vertikal. Setiap meja terdiri dari 2 kursi. Pada suatu hari ,sejumlah 15 % di kelas tersebut , tidak masuk sekolah. Berapa siswa yang hadir pada hari itu?. Bila seorang siswa mampu menggunakan kalkulator, tapi tidak memahami konsep perkalian, pembagian, pengurangan, pasti dia tidak dapat menggunakan kalkulator tersebut, karena untuk memodelkan persamaam matematisnya belum tentu bisa. Bila siswa tersebut memahami cerita diatas, dia akan sanggup memodelkan rumus matematisnya. pertama dengan mengalikan 6 meja horisontal dengan 5 meja vertikal, didapat 30 meja. Lalu 30 dikali 2 kursi menjadi 60 kursi. Berarti bila semua siswa masuk, akan ada 60 siswa. Karena yang tidak masuk adalah 15 persen, maka yang masuk adalah 100–15 menjadi 85 persen. Dan 85 persen dikali 60 , maka berarti ada 51 siswa yang masuk sekolah pada hari itu dan 9 siswa tidak masuk. Nah kasus penggunaan AI adalah sama dengan penggunaan kalkulator, kita harus tahu ilmu / konsep
terlebih dahulu sebelum menggunakan kalkulator.
pada AI tools ada model generator story untuk generate cerita/story, ada model question and answer untuk menjawab fakta atas pertanyaan pengguna. seringkali AI Tools salah memberikan jawaban, suatu pertanyaan siapakah pendiri perusahan XYS , akan dijawab sebagai JKL misalnya, bagaimana ini bisa terjadi ?, karena kemungkinan AI model tersebut belum pernah diinstruksikan spesifik mengenai fakta perusahan XYS sebelumnya, dan menggunakan referensi perusahaan XYA yang dianggap dekat secara perhitungan vector (Vector merupakan salah satu konsep penting dalam bidang AI, terutama dalam pemrosesan bahasa alami dan analisis data. Secara umum, vector adalah himpunan nilai numerik yang mewakili suatu objek dalam ruang berdimensi n. Vector dapat digunakan untuk merepresentasikan informasi, seperti kata-kata dalam teks atau gambar dalam pengolahan citra.) Sehingga munculah jawaban yang salah ini. Bila pengguna meyakini apa yang dijawab AI selalu benar, maka akan efek/impak yang kemungkinan bisa mengganggu pengguna tersebut di kemudian hari. Kejadian peristiwa ini dinamakan halusinasi AI, dimana AI menjawab suatu fakta dengan hasil halusinasi karena tidak tersedia data referensi yang cocok pada language model tersebut.
ChatGPT sebagai large language model terbesar, terampuh saat ini, seringkali dianggap selalu benar, dan pengguna belum memahami bagaimana jalan ceritanya sehingga menghasilkan results / output yang dihasilkan dari language model tersebut. Hal seperti inilah yang dikhawatirkan oleh lembaga sekolah, institusi kesehatan. Bayangkan bila AI tools salah memberikan hasil diagnosa, salah memberikan resep.
pada model GPT, ada konsep fine tuning dan embeding yang dapat semua orang/ahli model AI untuk membuat language model sendiri berdasarkan case / problem yang dimiliki oleh individu, organisasi, perusahaan, swasta dan badan pemerintahan. dengan modeling fine tune dan embeding, setiap orang / entity diperbolehkan menggunakan base model GPT seperti davinci-003, davinci-3.5turbo sebagai referensi model, nantinya model baru ini yang dibuat oleh individu / entity tersebut dapat digunakan sesuai keperluan.
Fine tune contohnya, diperlukan / dilakukan bila kita ingin membuat solusi AI bagaimana menciptakan tulisan dengan gaya bahasa penulis A, menciptakan alternatif ide baru untuk problem pencarian nama bayi/anak sesuai dengan arti / meaning bahasa setempat, menciptakan lirik lagu baru sesuai dengan style pencipta lagu B, dan segala problem yang sifatnya ingin membuat suatu output baru berdasarkan contoh / referensi dari orang / style tertentu.
Embeding adalah model untuk mengklasifikasikan sesuatu, mengelompokkan sesuatu, mencari persamaan pola , menemukan pola berbeda / anomali pada suatu kelompok dataset, menemukan / query jawaban yang mendekati pada suatu pertanyaan. Kasus tanya jawab pada suatu sekelompok informasi tentang profile company, profile produk dapat dipecahkan dengan melakukan embeding ini.
Fine tune dan Embeding adalah kegiatan modeling / membuat formula untuk meyelesaikan suatu kasus dalam masalah real life/ masalah bisnis. Dibalik keresahan munculnya AI, justru adal peluang besar di area ini, dimana kita bisa melakukan modeling sendiri untuk memecahkan masalah kita. Ingat kasus masalah menghitung jumlah murid yang masuk pada cerita diatas ?, Kita bisa menghitung jumlah murid yang masuk dengan cara menghitung jumlah meja, jumlah kursi dan fakta tentang siswa yang tidak masuk. Kita buat rumus / model persamaan matematikanya, dan setelah jadi, kita masukkan value dari parameter jumlah meja, parameter jumlah kursi dan paremeter siswa yang tidak masuk, dengan memasukkan nilai dari setiap parameter tersebut maka akan didapat jumlah siswa yang masuk dengan benar. AI model pun seperti itu, tapi bayangkan jumlah parameternya ada 1 juta, ada 100 juta, ada 1 milyard, beda dengan contoh diatas hanya ada 3 parameter.
Sekarang bisakah model itu menjawab pertanyaan seperti ini. Jarak kota A dan B adalah 180 kilometer. Bila aku berangkat jam 09:00 pagi dan kecepatan motor 60 km perjam, dan istirahat selama 30 menit, pada 1/3 perjalanan, lalu melanjutak perjalanan dengan 20 kilometer perjam, maka aku sampai di kota B jam berapa ? . Dengan kasus seperti ini, kita tidak dapat menyelesaikan solusinya dengan model matematis menghitung jumlah siswa yang masuk seperti pada sebelumnya, karena kasusnya sama sekali berbeda, kita harus buat model baru yang cocok untuk menyelesaikan masalah tersebut. Nah disitulah Peluang pemecahan AI yang lebih banyak diperlukan di dunia nyata.
Kembali ke masalah institusi pendidikan dan kesehatan yang meresahkan institusi tersebut. Diperlukan banyak sekali ahli modeling AI untuk membuat model baru guna melengkapi referensi yang sudah ada, untuk meminimalkan kesalahan AI dalam menjawab pertanyaan.
Jadi apakah AI meresahkan manusia atau membantu manusia, atau membuka peluang bisnis baru ?, hanya kamu yang bisa menjawab sesuai dengan jawaban yang kamu mau.