Apakah Kita Hidup dalam Simulasi? Diskusi Bersama Neil deGrasse Tyson dan Nick Bostrom

Kukuh T Wicaksono
3 min readApr 29, 2024

Dunia yang kita huni mungkin tidak lebih nyata dari cerita fiksi ilmiah. Dalam sebuah episode dari StarTalk Cosmic Queries, Neil deGrasse Tyson mengundang filosof Nick Bostrom untuk mengeksplorasi sebuah gagasan yang menggemparkan: apakah kehidupan kita hanyalah sebuah simulasi? Bostrom, seorang profesor di Universitas Oxford dan Future of Humanity Institute, mengutarakan ‘Simulation Argument’, yang menimbulkan pertanyaan mendalam mengenai eksistensi kita.

Menurut Bostrom, ada tiga kemungkinan untuk peradaban di tahap teknologi seperti kita: pertama, mereka punah sebelum mencapai kedewasaan; kedua, mereka yang bertahan kehilangan minat untuk menciptakan simulasi nenek moyang; ketiga, kita saat ini mungkin hidup dalam simulasi tersebut. Meskipun argumen ini tidak membuktikan secara pasti, ia memberikan pernyataan bahwa salah satu dari ketiga proposisi itu harus benar.

Diskusi ini menjadi lebih dalam ketika membahas tentang kesulitan untuk mensimulasikan alam semesta secara detail dan apa artinya bagi konsep kesadaran dalam simulasi yang kompleks. Mereka juga mengangkat Skala Kardashev, yang mengukur level peradaban berdasarkan seberapa banyak energi yang bisa mereka gunakan, dan bagaimana hal ini berhubungan dengan kemungkinan kita hidup dalam simulasi.

Bostrom menambahkan bahwa jika ‘Simulation Argument’ benar, maka simulasi manusia bisa jadi lebih banyak daripada manusia asli. Bisa saja peradaban lanjut menciptakan simulasi untuk hiburan, penelitian, atau proyek seni. Tetapi, tidak ada cara pasti untuk membuktikan atau menyangkal teori ini. Faktor-faktor seperti kemampuan komputasi peradaban masa depan dan biaya untuk mensimulasikan otak manusia bisa menjadi petunjuk penting dalam mengevaluasi argumen simulasi ini.

Salah satu poin penting dalam diskusi ini adalah bagaimana simulasi detail dari seluruh alam semesta mungkin tidak perlu. Bostrom mengusulkan gagasan ‘procedural content generation’, di mana hanya bagian yang sedang diamati yang dirender secara detail, sementara sisanya dihasilkan secara dinamis.

Menariknya, pembicaraan ini juga menyentuh konsep kebebasan berkehendak dalam sebuah simulasi. Menurut Bostrom, hipotesis simulasi tidak akan mengubah konsep kebebasan berkehendak karena individu dalam simulasi akan mengembangkan gagasan kebebasan berkehendak dengan alasan yang sama seperti mereka di luar simulasi.

Diskusi menjadi lebih spekulatif saat membahas kemungkinan para programmer dari simulasi yang bisa dilihat sebagai analogi untuk tuhan, tetapi mereka tidak akan memiliki semua atribut tradisional tuhan, seperti kemaha-tahuan dan kemaha-kuasaan. Komputasi menjadi pusat dalam pembahasan kecerdasan buatan, tetapi bahkan dengan jumlah komputasi yang besar, kita mungkin masih belum mampu mensimulasikan pikiran manusia secara penuh.

Neil deGrasse Tyson dan Nick Bostrom juga mempertimbangkan kesulitan dalam menciptakan kecerdasan umum buatan (AGI) yang setara dengan manusia. Mereka menekankan bahwa, meskipun kita mungkin memiliki daya komputasi yang diperlukan, kita mungkin masih kekurangan dalam wawasan algoritmik yang diperlukan untuk mengembangkan dan mematangkan AI.

Diskusi berakhir dengan Tyson yang mengingatkan penonton untuk “terus melihat ke atas”, menunjukkan keingintahuan yang tidak pernah berakhir terhadap alam semesta dan tempat kita di dalamnya. Bagi yang tertarik dengan topik kecerdasan buatan, buku Bostrom “Superintelligence” adalah sumber yang disarankan oleh Tyson.

Kita mungkin takkan pernah mengerti sepenuhnya otak manusia, apalagi mensimulasikan seluruh detilnya. Namun, seperti halnya perdebatan tentang simulasi, pintu selalu terbuka untuk kemungkinan yang belum terbayangkan.

--

--