Benarkah AI Akan Menggantikan Software Engineer? Ini Faktanya

Kukuh T Wicaksono
6 min readFeb 2, 2025

--

Di berbagai konferensi dan pemberitaan, banyak CEO teknologi menggaungkan bahwa AI (terutama Large Language Model atau LLM) akan menggantikan peran software engineer. Mulai dari Mark Zuckerberg yang menyebut AI bisa menulis kode layaknya “mid-level engineer”, sampai Marc Benioff (CEO Salesforce) yang mengatakan perusahaannya tidak akan menambah lagi jumlah software engineer karena “produktif sudah naik 30% berkat AI”.

Namun, apakah ini benar-benar terjadi? Ataukah ini sekadar “ilusi” yang dilebih-lebihkan oleh para raksasa teknologi? Dalam artikel ini, kita akan menganalisis klaim-klaim tersebut dari sudut pandang prinsip pertama (first-principles thinking), melihat data apa adanya, dan memahami bagaimana realitasnya bagi Anda yang bekerja sebagai software engineer.

1. LLM Bukan Kecerdasan Manusia: Memahami Dasar Teknologi

Pertama-tama, mari kita luruskan konsep bahwa AI yang dimaksud sebagian besar orang saat ini adalah Large Language Model (LLM), bukan kecerdasan umum buatan (Artificial General Intelligence/AGI) atau pun “super-intelligence”. LLM seperti GPT-4, Claude, dan sejenisnya, bekerja dengan cara auto-regressive — memprediksi token teks berikutnya berdasarkan sekumpulan data teks (termasuk kode) yang sangat besar.

  • Mengapa terasa “pintar”?: LLM berlatih dari seluruh kode open-source di GitHub, diskusi forum (Stack Overflow), Wikipedia, hingga korpus bahasa luas lain. Alhasil, saat kita meminta contoh kode, model ini bisa menebak struktur dan sintaks yang “mirip benar” dengan apa yang ada di repositori terbuka. Bagi yang belum memahami cara kerjanya, ini tampak seperti sihir yang cerdas.
  • Keterbatasan desain: Namun, LLM mengalami kesulitan besar ketika harus benar-benar “memahami” konteks non-linguistik, seperti niat bisnis, domain khusus perusahaan, atau logika domain yang kompleks. Ia hanya mahir “menebak” token-teks berikutnya, bukannya membuat keputusan berbasis pemahaman nyata.
  • Bukan pengganti engineer junior: Klaim bahwa LLM bisa menjadi “junior engineer” juga kurang tepat. Engineer manusia (termasuk level junior) memiliki kemampuan memahami tujuan, kebutuhan bisnis, dan konteks yang lebih luas. Hal ini tidak sepenuhnya tergantikan oleh model yang hanya merangkai token teks.

Bahkan Yann LeCun (AI Chief Scientist di Meta) menyatakan bahwa kesalahan LLM tidak bisa diperbaiki tanpa redesign besar-besaran karena LLM memang hanya berfokus pada probabilitas token berikutnya. Dengan kata lain, jika kita mengharapkan loncatan besar dari LLM murni saat ini menjadi AGI, itu tidak akan terjadi tanpa perubahan radikal pada arsitektur dasar.

2. Mitos PHK Karena AI: Mengintip Motif di Balik PHK Massal

Banyak raksasa teknologi mengumumkan pemutusan hubungan kerja (PHK) di periode 2022–2023. Ada narasi yang mengatakan bahwa PHK ini terjadi karena “kami sudah meningkatkan produktivitas pakai AI”. Mari kita cek realitasnya:

  1. Over-Hiring Semasa Pandemi: Pada masa pandemi, permintaan digital naik pesat. Perusahaan teknologi (Meta, Amazon, Google, dll.) pun merekrut besar-besaran untuk mengantisipasi lonjakan pengguna. Ketika pandemi mereda dan pertumbuhan tidak sesuai harapan, mereka pun melakukan rasionalisasi SDM.
  2. Kegagalan Produk Besar: Contoh, Meta pernah menggelontorkan sumber daya besar untuk Metaverse, namun gagal memenuhi ekspektasi pasar. Maka, salah satu langkah untuk menenangkan investor adalah melakukan PHK guna menurunkan biaya operasional.
  3. Kurang Inovasi, Bukan Kurang Engineer: Google, Salesforce, atau Meta tidak banyak merilis produk revolusioner akhir-akhir ini. Mereka justru fokus mempertahankan monopoli produk yang sudah ada. Ketika pertumbuhan melambat, PHK tampak jadi solusi instan untuk menyenangkan pemegang saham.

Sementara itu, profit perusahaan teknologi justru relatif naik. Lihat saja harga saham Meta atau Alphabet; mereka tetap moncer. Data dari sektor korporasi di AS juga menunjukkan peningkatan laba yang besar pascapandemi, sementara “bagian” untuk karyawan tidak meningkat sebanding. Dengan kata lain, narasi “kami mem-PHK karena AI membuat engineer tak lagi diperlukan” seringkali hanyalah alat negosiasi agar para engineer tidak meminta gaji lebih tinggi.

3. Mengapa Semakin “Mudah” Koding, Semakin Banyak Koder Diperlukan: Jevons’ Paradox

Fenomena Jevons’ Paradox dalam ekonomi mengatakan bahwa ketika efisiensi penggunaan suatu sumber daya meningkat (yang otomatis menurunkan biayanya), justru permintaan terhadap sumber daya itu juga dapat meningkat. Contohnya, saat batubara menjadi lebih murah berkat teknologi baru, penggunaan batubara justru melonjak di berbagai sektor.

Hal serupa terjadi pada software development:

  • Produktivitas Dev Naik → Lebih Banyak Proyek: Kalau penulisan kode menjadi lebih cepat dan murah, justru akan ada lebih banyak proyek software. Perusahaan yang tadinya menunda migrasi legacy system, kini berpikir: “Ayo kita re-build, mumpung lebih cepat dan hemat.”
  • Butuh Engineer untuk Ide dan Arsitektur: Ingat, menulis kode hanyalah sebagian dari proses rekayasa software. Ada banyak langkah kritis seperti merumuskan ide produk, desain arsitektur, integrasi sistem, pengujian, hingga deploy dan pemeliharaan. AI mungkin dapat membantu menulis boilerplate, tetapi perencanaan dan penentuan arah produk tetap di tangan manusia.
  • Masalah Utama: Membuat Produk yang Benar (Product-Market Fit): Sebagian besar kegagalan produk teknologi bukan karena kurang baris kode, melainkan salah strategi pasar atau tidak paham kebutuhan pengguna. Ironisnya, bukannya mempekerjakan lebih banyak engineer untuk memperbaiki desain produk, beberapa perusahaan justru beralih ke pemotongan karyawan lalu “menyalahkan” efisiensi AI sebagai alasannya.

Ilustrasi jelas terlihat pada Salesforce. Mereka mengklaim bahwa AI meningkatkan produktivitas mereka hingga 30% sehingga jumlah engineer tidak akan ditambah besar-besaran. Namun, kenyataannya, Salesforce masih punya keluhan pelanggan yang mengatakan UI terlalu rumit dan kurang intuitif. Solusi tuntasnya justru membutuhkan tim engineer dan desainer yang lebih kuat untuk memperbaiki produk, bukan sekadar mengandalkan AI.

4. Hangover GPT-4: Dari Puncak Hype ke Jurang Kekecewaan

Ketika GPT-4 diluncurkan, banyak orang segera menyimpulkan ini adalah “akhir dari semua pekerjaan kantoran”, termasuk software engineer, copywriter, marketer, dan lain-lain. Namun, setelah beberapa bulan:

  • Pengguna Aktif Menurun: Data dari lalu lintas web ChatGPT menunjukkan tren yang mulai stabil atau sedikit menurun. Durasi kunjungan rata-rata pun menurun. Artinya, setelah beberapa waktu mencoba, banyak yang mulai menyadari keterbatasan praktis LLM.
  • Keterbatasan Solusi Real: GPT-4 hebat sebagai asisten autocomplete, tapi saat kita menggunakannya untuk menyelesaikan tugas kompleks dengan konteks dan logika mendalam, sering kali kita berakhir melakukan “satu langkah maju, dua langkah mundur” — harus mengecek, memperbaiki, atau bahkan menulis ulang kode.
  • Kurangnya Data Baru yang “Berkualitas”: GPT-4 dan GPT-5 nanti pada dasarnya dilatih dari korpus data yang sama. Memang ada tambahan data percakapan pengguna ChatGPT, tapi nilai tambah data tersebut tidak sebesar database open-source awal (GitHub, StackOverflow, dsb.). Belum ada arsitektur yang benar-benar baru; peningkatan besar kemungkinan sulit terwujud dengan pendekatan sama.

Situasi ini mirip Gartner Hype Cycle. Kita saat ini berada di puncak hype AI. Nantinya, akan ada masa “kekecewaan” ketika investor menyadari return tak sebesar yang diharapkan, barulah kita memasuki tahap “plateau of productivity” di mana AI/LLM menemukan tempatnya yang realistis di alur kerja, bukan sebagai pengganti total manusia.

5. Apa yang Harus Dilakukan Software Engineer?

Meski sebagian besar klaim mengenai “AI menggantikan engineer” terbukti berlebihan, bukan berarti Anda duduk diam saja. Berikut beberapa langkah yang dapat Anda lakukan:

  1. Gunakan AI untuk Pekerjaan Sehari-hari:
    Manfaatkan AI/LLM sebagai autocomplete atau alat brainstorming. Coba ChatGPT, GitHub Copilot, atau plugin serupa untuk menyelesaikan hal-hal repetitif. Jadikan alat bantu ini sebagai “asisten” yang mempercepat riset, penulisan kode boilerplate, dan dokumentasi.
  2. Selalu Berpikir Prinsip Pertama (First-Principles Thinking):
    Di tengah tsunami informasi, cek fakta dan pahami akar masalah. Lihat data real, jangan mudah terpengaruh klaim bombastis CEO atau tokoh teknologi. Tanyakan:
  • Apakah benar PHK terjadi karena AI?
  • Apakah benar GPT-4 “cerdas”, atau hanya pandai menebak token?
  • Apa yang sebenarnya dibutuhkan pasar/produk?
  1. Evaluasi dan Kembangkan Skill Anda:
    Jika merasa underpaid atau kurang diapresiasi, cobalah cari peluang di luar. Perusahaan teknologi masih memiliki banyak dana — meski mereka sering “merengek” seakan-akan sedang susah. Jangan ragu untuk negosiasi atau mencari opsi baru dengan paket remunerasi lebih baik.
  2. Fokus pada Pemahaman Bisnis dan Desain Arsitektur:
    Menulis kode akan menjadi lebih mudah. Bagian yang sulit adalah merumuskan solusi tepat atas masalah bisnis. Saat Anda meningkatkan keterampilan merancang sistem, memahami domain bisnis, dan mengintegrasikan berbagai layanan, Anda akan memiliki nilai tambah yang jauh lebih sulit digantikan oleh model AI manapun.

Kesimpulan

Kehadiran AI berbasis LLM memang menggebrak industri, namun jangan sampai Anda terjebak hype bahwa “semua engineer akan terganti”. Kenyataannya:

  • LLM hanyalah sebuah model statistik berbasis teks yang dapat membantu menulis kode, tetapi bukan pengganti pemahaman mendalam, perencanaan arsitektur, dan kepiawaian problem-solving seorang software engineer.
  • Klaim “PHK karena AI” lebih sering berkaitan dengan over-hiring saat pandemi, kegagalan produk, dan upaya perusahaan mempertahankan margin laba dengan memotong biaya.
  • Produktivitas yang naik justru membuka lebih banyak peluang pembuatan produk baru. Ini artinya butuh lebih banyak engineer untuk menangani hal-hal di luar penulisan kode sederhana.
  • GPT-4 dan model sejenis memang spektakuler, tetapi pengguna mulai melihat keterbatasannya. Kita sedang bergerak dari puncak ekspektasi menuju tahap penyesuaian realitas.

Sebagai software engineer, tugas Anda adalah memanfaatkan AI secara strategis: jadikan ia alat bantu, tetaplah mengasah pemahaman fundamental, arsitektur, dan domain bisnis. Industri masih membutuhkan banyak talenta berbakat — hanya saja jangan terlena dengan “mitos AI akan mengambil alih segalanya”. Selama Anda terus belajar dan meningkatkan keahlian, masa depan Anda dalam dunia rekayasa software tetap cerah.

“Kita hanya takut pada apa yang belum kita pahami. Setelah memahaminya, kita bisa bergerak maju dengan yakin.”

--

--

No responses yet