Ilmuwan Mengklaim Punya Bukti Bahwa Kita Hidup dalam Simulasi

Kukuh T Wicaksono
13 min readApr 26, 2024

https://www.popularmechanics.com/science/environment/a60553384/covid-simulation/

Teori bahwa kita hidup dalam simulasi merupakan konsep yang mengusulkan bahwa semua yang kita alami — alam semesta dan segala isinya — hanyalah sebuah simulasi yang sangat canggih, seringkali diasumsikan dijalankan oleh entitas yang lebih maju secara teknologi. Ide ini populer di kalangan beberapa filsuf, ilmuwan, dan teoretisi, serta dijelajahi dalam banyak karya fiksi ilmiah seperti film “The Matrix”.

Teori simulasi berakar dari beberapa pemikiran filosofis dan ilmiah, termasuk argumen berikut:

1. Kemajuan Teknologi: Dengan melihat perkembangan teknologi komputer dan virtual reality, beberapa orang berpendapat bahwa suatu hari nanti teknologi kita bisa maju sampai pada titik di mana kita bisa menciptakan simulasi yang tidak bisa dibedakan dari realitas sebenarnya. Jika hal ini mungkin, bagaimana kita bisa yakin bahwa hal itu belum terjadi?

2. Argumen Statistik: Filosof Nick Bostrom mengemukakan argumen yang mengatakan bahwa jika suatu peradaban mencapai titik di mana mereka dapat membuat simulasi yang tidak bisa dibedakan dari realitas, dan mereka membuat banyak simulasi tersebut, maka matematis lebih mungkin bahwa kita adalah bagian dari simulasi daripada realitas asli.

3. Observasi Ilmiah: Beberapa ilmuwan, seperti Melvin Vopson yang dijelaskan dalam artikel, mencari bukti ilmiah yang dapat mendukung teori simulasi. Misalnya, anehnya perilaku quantum atau inkonsistensi dalam hukum fisika bisa diinterpretasikan sebagai ‘bug’ atau batasan dalam kode simulasi.

Walaupun teori hidup dalam simulasi menawarkan bahan renungan yang menarik dan sering mendorong diskusi filosofis, hingga saat ini masih belum ada bukti konkret yang dapat secara definitif mendukung atau membantah teori ini. Sebagian besar komunitas ilmiah tetap memperlakukannya sebagai hipotesis spekulatif atau pemikiran eksperimental daripada fakta ilmiah yang mapan.

Para filsuf dan ilmuwan telah lama mempertanyakan apakah alam semesta kita merupakan sebuah simulasi. Melvin Vopson, ilmuwan dari University of Portsmouth, percaya bahwa ia memiliki bukti yang mendukung teori ini. Dalam penelitiannya, ia menggunakan Hukum Kedua dari Infodinamika, yang ia rumuskan sebelumnya, untuk mengklaim bahwa penurunan entropi dalam sistem informasi seiring waktu dapat membuktikan bahwa alam semesta memiliki sistem “optimasi data dan kompresi,” yang mengindikasikan sifat digitalnya.

Sifat digital dalam konteks yang dijelaskan oleh Melvin Vopson berhubungan dengan ide bahwa alam semesta mungkin beroperasi seperti sistem komputer atau entitas berbasis data. Ini bukan hanya mengacu pada sesuatu yang menggunakan angka biner atau elektronik seperti yang kita pahami dalam teknologi digital sehari-hari, tetapi lebih kepada pemikiran bahwa seluruh alam semesta bisa jadi berfungsi berdasarkan prinsip-prinsip yang serupa dengan cara kerja komputer digital.

Dalam hal ini, beberapa aspek dari sifat digital alam semesta yang dimaksud meliputi:

1. Diskretisasi: Alam semesta mungkin terdiri dari unit-unit terkecil yang sangat kecil dan terbatas (mirip dengan bagaimana informasi digital terdiri dari bit).

2. Kode dan Aturan: Mirip dengan program komputer yang dijalankan berdasarkan kode dan algoritme tertentu, ada kemungkinan bahwa alam semesta diatur oleh serangkaian aturan atau ‘kode’ fundamental yang menentukan bagaimana materi dan energi berinteraksi.

3. Optimasi dan Kompresi Data: Ini menunjuk pada gagasan bahwa alam semesta secara efisien mengatur dan mengoptimalkan informasinya, yang dapat dilihat dalam cara entropi informasi diatur atau dijaga minimal dalam sistem tertentu, bertentangan dengan apa yang biasanya diperkirakan dengan hukum kedua termodinamika.

Menganggap alam semesta memiliki sifat digital memungkinkan peneliti seperti Vopson untuk menjelajahi model fisika yang tidak hanya mengacu pada fenomena fisik tradisional tapi juga memperhitungkan manipulasi dan pengelolaan informasi yang sangat teratur dan efisien, yang bisa jadi indikasi bahwa kita berada dalam sebuah simulasi.

Meskipun klaim ini memerlukan investigasi lebih lanjut dan masih jauh dari penemuan ilmiah yang konkret, bukti ini perlu pembuktian yang ketat sebelum komunitas ilmiah secara luas dapat menganggap serius teori ini. Dalam film “The Matrix” tahun 1999, karakter Thomas Anderson (a.k.a Neo) menemukan sebuah kebenaran yang mengubah segalanya — bahwa alam semesta adalah sebuah simulasi. Sementara premis ini memberikan bahan cerita fiksi ilmiah yang fantastis, ide tersebut tidak sepenuhnya hanya berada di bagian fiksi seperti yang mungkin beberapa orang pikirkan.

Infodinamika, atau Dinamika Informasi, adalah sebuah konsep yang dikembangkan oleh Melvin Vopson untuk menjelaskan bagaimana entropi — atau ukuran ketidakpastian dan keacakan — dalam sistem informasi bisa berperilaku berbeda dari entropi dalam sistem fisik tradisional yang dibahas dalam termodinamika. Dalam fisika tradisional, Hukum Kedua Termodinamika menyatakan bahwa entropi dalam sistem terisolasi cenderung meningkat seiring waktu. Namun, Vopson mengamati bahwa dalam sistem informasi, entropi bisa bertahan, atau bahkan berkurang, menunjukkan adanya dinamika yang berbeda.

Untuk memahami Infodinamika dengan analogi sederhana, kita bisa menggunakan contoh sebuah perpustakaan yang sangat terorganisir dan otomatis:

Analogi Perpustakaan Otomatis:

1. Pengumpulan dan Pengorganisasian Informasi: Bayangkan sebuah perpustakaan di mana buku-buku dan informasi secara terus-menerus diperbarui dan diatur. Sistem perpustakaan menggunakan teknologi canggih untuk menilai mana buku yang paling sering dibaca dan informasi mana yang paling relevan bagi pengunjungnya.

2. Penyesuaian Dinamis: Sebagai respons terhadap kebutuhan pengguna, perpustakaan ini secara otomatis bisa memindahkan buku-buku ke lokasi yang lebih mudah diakses atau bahkan merekomendasikan konten yang lebih relevan kepada pengguna berdasarkan kebiasaan membaca mereka. Proses ini mengurangi entropi sistem — yaitu mengurangi keacakan atau ketidakpastian informasi yang diterima oleh pengguna.

3. Pengelolaan Entropi Informasi: Dalam konteks ini, perpustakaan berfungsi untuk tidak hanya menyimpan informasi, tetapi juga untuk secara aktif mengelola dan mengoptimalkan cara informasi disajikan dan diakses. Entropi tidak hanya dijaga pada tingkat minimal, tetapi juga diatur untuk memastikan bahwa sistem informasi (perpustakaan) menjadi sangat efisien dan mudah digunakan.

Dalam Infodinamika, seperti dalam perpustakaan otomatis ini, ide utamanya adalah bahwa sistem informasi mampu mengelola dan mengoptimalkan entropinya sendiri, bertentangan dengan apa yang biasanya terjadi dalam sistem fisik di mana entropi cenderung meningkat secara alami. Sistem ini tidak hanya pasif dalam menanggapi perubahan, tetapi aktif dalam meminimalkan ketidakpastian dan meningkatkan kegunaan dan aksesibilitas informasi. Infodinamika menawarkan cara baru untuk memikirkan bagaimana informasi bisa dikelola dalam teknologi dan sistem informasi, membuka kemungkinan bahwa alam semesta kita juga mungkin memiliki mekanisme serupa yang mengatur entropi.

Dalam konteks pembahasan Infodinamika oleh Melvin Vopson dan secara lebih luas dalam teori informasi, “informasi” merujuk pada data atau pesan yang memiliki makna atau yang dapat digunakan untuk membuat keputusan atau pemahaman. Informasi bisa berbentuk angka, kata, simbol, atau sinyal yang ketika diinterpretasikan, memberikan pengetahuan tentang suatu fenomena, kejadian, atau kondisi.

Dalam fisika dan teori informasi:

1. Informasi sebagai Pengurang Ketidakpastian: Informasi membantu mengurangi ketidakpastian dalam mengambil keputusan atau dalam memahami suatu sistem. Misalnya, informasi genetik dalam DNA mengandung instruksi tentang bagaimana sel harus berfungsi dan berkembang.

2. Informasi dalam Sistem Fisik: Dalam sistem fisik, informasi dapat dianggap sebagai susunan atau konfigurasi dari sistem tersebut. Misalnya, posisi dan kecepatan partikel dalam gas memberikan informasi tentang keadaan gas tersebut.

3. Entropi Informasi: Dalam konteks teori informasi, entropi mengukur jumlah informasi yang diperlukan untuk menggambarkan keadaan sistem atau untuk mengkomunikasikan pesan tanpa kehilangan detail penting. Entropi tinggi menandakan bahwa lebih banyak informasi dibutuhkan untuk menggambarkan sistem tersebut karena sistem tersebut lebih acak.

Melvin Vopson menggunakan konsep ini dalam teorinya tentang Infodinamika untuk menjelaskan bagaimana sistem-sistem informasi (seperti sistem biologis, elektronik, atau mungkin alam semesta) mungkin mengelola dan mengatur entropi mereka sendiri, yang berbeda dari yang biasanya dilihat dalam sistem fisik terisolasi di mana entropi cenderung meningkat. Dalam kasus Infodinamika, informasi tidak hanya statis tetapi dinamis — dikelola dan dioptimalkan secara aktif untuk mempertahankan atau bahkan mengurangi entropi dalam sistem, menciptakan efisiensi dan keteraturan yang lebih besar.

Melvin Vopson, yang meneliti kemungkinan bahwa alam semesta mungkin memang tiruan digital, mengambil pendekatan yang mirip dengan film ikonik tersebut. Dalam artikel yang dipublikasikan di situs web The Conversation bulan Oktober lalu, Vopson mengaitkan karyanya dengan mahakarya fiksi ilmiah Wachowskis, dan sekitar waktu yang sama, ia juga menerbitkan buku tentang subjek tersebut — Reality Reloaded, menggema judul sekuel Matrix yang kurang sukses. Meskipun ia hanya salah satu dari banyak yang telah memikirkan ide ini, Vopson mengklaim memiliki satu hal yang tidak dimiliki orang sebelumnya: bukti.

Vopson menyatakan, dalam fisika, ada hukum-hukum yang mengatur segala sesuatu yang terjadi di alam semesta, seperti bagaimana objek bergerak, bagaimana energi mengalir, dan lain-lain. Semuanya berdasarkan hukum fisika. Salah satu hukum paling kuat adalah hukum kedua termodinamika, yang menetapkan bahwa entropi — ukuran ketidakaturan dalam sistem terisolasi — hanya bisa meningkat atau tetap sama, tetapi tidak akan pernah berkurang.

Berdasarkan hukum terkenal ini, Vopson juga mengharapkan bahwa entropi dalam sistem informasi — yang penelitian sebelumnya mendefinisikan sebagai “keadaan kelima materi” — harusnya meningkat seiring waktu. Namun, hal itu tidak terjadi. Sebaliknya, entropi tetap konstan, atau bahkan menurun hingga nilai minimal pada kesetimbangan. Ini bertentangan langsung dengan hukum kedua termodinamika, yang menginspirasi Vopson untuk mengadopsi Hukum Kedua Dinamika Informasi (atau Infodinamika).

Konsep “fifth state of matter” yang disebutkan oleh Melvin Vopson dalam penjelasannya tentang entropi informasi, sebenarnya merujuk pada suatu bentuk teoritis yang belum secara luas diakui atau dijelaskan dalam fisika klasik. Namun, untuk memahaminya dengan analogi sederhana, kita bisa berangkat dari pemahaman empat keadaan materi yang lebih dikenal: padat, cair, gas, dan plasma. Kelima keadaan materi ini, dalam konteks yang digunakan Vopson, bisa dianggap sebagai metafora untuk menggambarkan kompleksitas dan organisasi informasi.

Analogi yang bisa digunakan untuk “fifth state of matter” dalam konteks entropi informasi adalah dengan memikirkan perpustakaan yang sangat canggih, di mana buku-buku tidak hanya tersusun rapi di rak, tetapi juga memiliki kemampuan untuk meng-update diri sendiri sesuai dengan informasi terbaru dan paling relevan:

1. Keadaan Padat: Mirip dengan buku-buku yang tersimpan dalam format fisik yang tetap dan tidak berubah. Setiap buku adalah sumber informasi tetap yang dapat diakses tetapi tidak berubah sendiri.

2. Keadaan Cair: Di sini, informasi seperti majalah atau jurnal yang terus diperbarui dan dapat berubah isi sesuai dengan edisi atau publikasi terbaru.

3. Keadaan Gas: Mirip dengan diskusi atau webinar yang menyebarkan informasi secara bebas dan dinamis, di mana informasi berpindah dan menyebar cepat tanpa batasan struktural tetap.

4. Keadaan Plasma: Representasi dari data yang disiarkan melalui media elektronik, memiliki energi tinggi dan mampu mengubah bentuknya dengan cepat, seperti informasi digital yang tersebar di internet.

5. Fifth State of Matter (Keadaan Kelima): Ini bisa dianggap sebagai sistem AI atau jaringan cerdas yang mengintegrasikan semua buku, majalah, diskusi, dan data digital, lalu menggunakan analitik canggih untuk memprediksi kebutuhan informasi pengguna dan mengoptimalkan dirinya secara real-time. Sistem ini tidak hanya menyimpan atau menyebarkan informasi, tetapi secara aktif mengelola dan meminimalkan entropi (ketidakpastian) informasi, memastikan bahwa setiap pengguna mendapatkan informasi yang paling tepat dan relevan sesuai dengan kebutuhan mereka saat itu.

Dalam konteks entropi informasi, “fifth state of matter” menunjukkan keadaan di mana informasi tidak hanya ada, tetapi dikelola dengan cara yang sangat efisien dan dinamis, mengurangi redundansi dan meningkatkan relevansi — suatu fenomena yang tidak sepenuhnya dijelaskan oleh empat keadaan materi konvensional. Ini adalah analogi sederhana untuk membayangkan bagaimana informasi bisa berada dalam keadaan yang sangat terorganisir dan “hidup” dalam konteks tertentu.

Entropi adalah konsep dalam termodinamika yang menggambarkan tingkat ketidakaturan atau keacakan dalam suatu sistem. Dalam konteks fisika, entropi sering digunakan untuk mengukur seberapa tidak terorganisirnya energi dalam sebuah sistem. Makin tinggi entropi, makin tinggi tingkat ketidakaturan atau kekacauan dalam sistem tersebut.

Secara klasik, Hukum Kedua Termodinamika menyatakan bahwa entropi dalam sebuah sistem terisolasi tidak pernah menurun; ia hanya bisa bertambah atau, dalam kondisi terbaik, tetap sama. Hukum ini mencerminkan pengamatan bahwa sistem alami cenderung beralih dari keadaan terorganisir ke keadaan kurang terorganisir seiring waktu. Misalnya, es yang mencair di dalam ruangan akan menyebarkan panas secara merata hingga suhu keseluruhan ruangan stabil, meningkatkan entropi ruangan tersebut.

Namun, dalam penelitian Vopson, dia menemukan bahwa entropi dalam sistem informasi — yang ia definisikan sebagai “keadaan kelima materi” — tidak selalu bertambah. Sebaliknya, dalam beberapa kasus, entropi ini dapat tetap konstan atau bahkan menurun, mencapai nilai minimal pada kesetimbangan. Temuan ini tidak sesuai dengan apa yang diprediksi oleh Hukum Kedua Termodinamika, sehingga Vopson mengembangkan Hukum Kedua Dinamika Informasi (Infodinamika) sebagai cara untuk menjelaskan fenomena tersebut dalam konteks sistem informasi. Infodinamika ini mengusulkan bahwa entropi informasi mungkin berperilaku berbeda dari entropi termodinamika, menunjukkan sifat unik dari sistem informasi dibandingkan dengan sistem fisik tradisional.

Vopson berargumen bahwa hukum ini memainkan peran dalam fisika atom (penataan elektron), kosmologi (seperti di atas), dan sistem biologis. Klaim besar Vopson pada sistem biologis ini adalah, berlawanan dengan gagasan Charles Darwin bahwa mutasi terjadi secara acak, mutasi sebenarnya terjadi agar entropi informasi diminimalkan. Vopson menganalisis virus SARS-CoV-2 (a.k.a. COVID-19) yang terus-menerus bermutasi, dan makalahnya tentang investigasi tersebut — yang dipublikasikan bulan Oktober lalu dalam jurnal AIP Advances — menunjukkan “korelasi unik antara informasi dan dinamika mutasi genetik.”

Untuk menjelaskan “korelasi unik antara informasi dan dinamika mutasi genetik” yang dibahas oleh Vopson, kita bisa menggunakan analogi sederhana dengan sebuah perpustakaan yang terus-menerus mengupdate koleksi bukunya:

Bayangkan sebuah perpustakaan besar yang memiliki banyak buku. Buku-buku ini secara berkala diganti atau diperbarui untuk menjaga relevansi dan akurasi informasi yang disajikan kepada pembacanya. Dalam konteks ini, buku-buku mewakili “gen-gen” dalam organisme hidup, dan perpustakaan adalah “genom.”

1. Mutasi Genetik sebagai Proses Pembaruan Buku: Dalam biologi, mutasi genetik dapat dilihat seperti proses memperbarui buku. Kadang-kadang, saat buku diperbarui (misalnya, cetakan baru diterbitkan), terjadi kesalahan tipografi atau perubahan kata yang tidak disengaja, yang mirip dengan mutasi genetik acak dalam DNA. Namun, menurut Vopson, mutasi ini tidak sepenuhnya acak tetapi berusaha untuk mengoptimalkan atau meminimalkan entropi informasi.

2. Minimisasi Entropi Informasi: Dalam analogi ini, jika perpustakaan mencoba mengurangi duplikasi atau informasi yang tidak perlu (meminimalkan entropi informasi), maka pembaruan buku mungkin dilakukan dengan cara yang lebih terstruktur — memilih untuk mengupdate informasi yang paling sering diakses atau yang paling mungkin memberikan nilai baru kepada pembaca. Demikian pula, mutasi dalam DNA mungkin terjadi dengan cara yang meningkatkan efisiensi atau kebugaran organisme, bukan secara acak, tetapi dengan mengarah pada pengurangan ketidakpastian atau redundansi genetik.

3. Korelasi Unik Antara Informasi dan Dinamika Mutasi: Dalam kasus virus SARS-CoV-2, yang terus menerus bermutasi, Vopson menunjukkan bahwa ada korelasi antara bagaimana dan mengapa mutasi terjadi dengan cara yang “mengoptimalkan” informasi genetik virus. Hal ini mirip dengan perpustakaan yang tidak hanya secara acak mengganti buku, tapi secara strategis memilih buku mana yang perlu diperbarui berdasarkan bagaimana informasi tersebut akan mempengaruhi pemahaman keseluruhan para pembacanya.

Dalam analogi ini, Vopson berpendapat bahwa mutasi dalam organisme hidup — seperti dalam perpustakaan — mungkin memiliki kecenderungan untuk terjadi sedemikian rupa sehingga secara efisien mengatur informasi genetik, daripada hanya terjadi secara acak. Ini mencerminkan hubungan yang lebih dinamis dan adaptif antara informasi (isi buku) dan bagaimana itu diubah atau dipertahankan (proses pembaruan buku) untuk memaksimalkan fungsionalitas dan relevansi.

Entropi informasi adalah konsep yang berasal dari teori informasi, yang pertama kali dikembangkan oleh Claude Shannon pada tahun 1948. Entropi informasi mengukur ketidakpastian atau keacakan informasi dalam suatu pesan atau distribusi data. Dengan kata lain, entropi informasi dapat dianggap sebagai cara untuk mengukur seberapa banyak “kejutan” atau ketidaktahuan yang dihilangkan setelah menerima informasi.

Dalam penggunaannya:

1. Ukuran Ketidaktahuan: Entropi informasi mengukur seberapa banyak informasi yang diperlukan untuk secara akurat menggambarkan keadaan sistem. Tinggi entropi menunjukkan tingkat ketidakpastian yang tinggi, sedangkan entropi rendah menunjukkan tingkat ketidakpastian yang rendah.

2. Efisiensi Kode: Dalam konteks pengkodean dan transmisi data, entropi informasi digunakan untuk menentukan batas bawah rata-rata panjang bit yang diperlukan untuk mengkodekan serangkaian pesan. Prinsip ini digunakan dalam merancang kode yang efisien dalam komunikasi digital.

3. Prediktibilitas: Sistem dengan entropi rendah lebih mudah diprediksi karena ada lebih sedikit kemungkinan keadaan yang dapat diambil. Sebaliknya, sistem dengan entropi tinggi lebih sulit diprediksi karena memiliki banyak kemungkinan keadaan atau konfigurasi.

Dalam konteks yang dibahas oleh Melvin Vopson, entropi informasi terkait dengan bagaimana informasi diatur dan berubah dalam sistem fisik atau simulasi alam semesta. Penurunan atau stabilitas entropi informasi dalam sistem tertentu bisa menandakan adanya pengaturan atau optimasi yang sangat efisien, seperti yang mungkin terjadi dalam simulasi atau sistem yang sangat terkontrol. Ini berlawanan dengan apa yang biasanya diharapkan dalam sistem fisik alami, di mana entropi cenderung meningkat atau setidaknya stabil, sesuai dengan Hukum Kedua Termodinamika.

Entropi informasi bisa dijelaskan dengan analogi sederhana menggunakan kotak berisi bola berwarna:

Bayangkan Anda memiliki sebuah kotak besar yang berisi bola-bola berwarna merah dan biru dalam jumlah yang tidak diketahui. Anda diminta untuk menebak warna bola yang akan Anda ambil dari kotak tersebut tanpa melihat ke dalamnya.

1. Kotak dengan Bola Warna yang Sama: Jika semua bola di dalam kotak berwarna merah, entropi informasi sangat rendah — bahkan bisa dikatakan nol — karena Anda sudah pasti tahu bahwa setiap bola yang Anda ambil akan berwarna merah. Tidak ada ketidakpastian atau “kejutan”.

2. Kotak dengan Bola Berwarna Merah dan Biru dalam Proporsi yang Sama: Jika kotak berisi setengah bola merah dan setengah bola biru, entropi informasi di sini adalah maksimal. Ini karena setiap kali Anda akan mengambil bola, ketidakpastian tentang warna bola adalah paling tinggi — Anda benar-benar tidak tahu apakah bola yang akan Anda ambil berwarna merah atau biru.

3. Kotak dengan Mayoritas Bola Berwarna Merah dan Sedikit Bola Biru: Dalam kasus ini, entropi informasi lebih rendah dari kotak sebelumnya tetapi lebih tinggi dari kotak pertama. Meskipun Anda mungkin menduga bahwa bola yang akan Anda ambil kemungkinan besar merah, masih ada ketidakpastian karena kemungkinan mengambil bola biru.

Dalam konteks ini, entropi mengukur ketidakpastian ini. Dalam sistem informasi, entropi tinggi berarti data atau sinyal yang diterima memiliki banyak variasi dan tidak mudah diprediksi, sedangkan entropi rendah menunjukkan bahwa data atau sinyal lebih seragam dan mudah diprediksi. Ini relevan dalam banyak aplikasi, seperti kompresi data, di mana entropi digunakan untuk mengoptimalkan seberapa efisien data dapat dikompres tanpa kehilangan informasi penting.

Berikut adalah kesimpulan dari klaim tersebut:

Melvin Vopson, seorang ilmuwan dari University of Portsmouth, mengklaim memiliki bukti yang mendukung teori bahwa alam semesta adalah sebuah simulasi digital canggih. Bukti ini berdasarkan penelitiannya menggunakan Hukum Kedua dari Infodinamika, sebuah hukum yang dirumuskannya sendiri.

Menurut Vopson, entropi dalam sistem informasi tidak selalu meningkat seiring waktu seperti yang diprediksi oleh Hukum Kedua Termodinamika. Sebaliknya, entropi informasi dapat tetap konstan atau bahkan menurun hingga nilai minimal pada kesetimbangan. Ini menunjukkan adanya “sistem optimasi data dan kompresi” dalam alam semesta, yang mengindikasikan sifat digitalnya.

Vopson juga menganalisis mutasi virus SARS-CoV-2 dan menemukan “korelasi unik antara informasi dan dinamika mutasi genetik.” Ini bertentangan dengan gagasan bahwa mutasi terjadi secara acak, melainkan terjadi sedemikian rupa untuk meminimalkan entropi informasi.

Meskipun klaim Vopson memerlukan investigasi lebih lanjut dan masih jauh dari penemuan ilmiah yang konkret, bukti ini memberikan perspektif baru dalam melihat alam semesta sebagai sistem digital atau simulasi yang sangat terorganisir dan efisien secara informasi.

--

--