“Mentalitas Feodal yang Tak Disadari: Penghambat Reformasi Perizinan Investasi di Indonesia”

Kukuh T Wicaksono
6 min readJan 13, 2025

--

Perizinan investasi di Indonesia sering dianggap rumit karena berbagai faktor yang dipengaruhi oleh budaya, struktur birokrasi, dan tata kelola yang belum efisien. Salah satu alasan utama adalah adanya pengaruh tradisi budaya feodal yang masih terasa dalam birokrasi, di mana setiap individu atau institusi yang memegang kekuasaan cenderung menuntut penghormatan, pelayanan khusus, atau bahkan imbalan dari pihak lain. Dalam konteks perizinan, mentalitas ini menyebabkan setiap lapisan birokrasi merasa perlu terlibat, yang tidak hanya memperlambat proses tetapi juga membuka peluang untuk praktik korupsi atau gratifikasi.

Selain itu, proses perizinan sering kali melibatkan banyak lembaga, baik di tingkat pusat maupun daerah, dengan aturan, prosedur, dan dokumen yang berbeda-beda. Hal ini menciptakan tumpang tindih kewenangan dan memperumit proses yang seharusnya sederhana. Masalah ini semakin diperparah oleh kurangnya transparansi, di mana waktu penyelesaian perizinan dan prosedurnya tidak memiliki standar yang jelas. Akibatnya, investor sering kali dihadapkan pada proses yang lambat, yang terkadang dipengaruhi oleh kepentingan individu atau kelompok tertentu yang mengharapkan keuntungan pribadi.

Salah satu penyebab utama di balik masalah ini adalah mentalitas sebagian masyarakat dan birokrasi Indonesia yang belum sepenuhnya siap menghadapi perubahan besar dalam sistem dan cara kerja modern. Budaya kerja yang terbiasa dengan cara-cara tradisional sering kali sulit menyesuaikan diri dengan digitalisasi, efisiensi, dan standar internasional. Ketidaksiapan mental ini membuat banyak pihak terjebak dalam zona nyaman dan resistensi terhadap inovasi. Sebagai akibatnya, Indonesia sering kali tertinggal dari negara-negara lain yang lebih cepat mengadopsi teknologi dan praktik terbaik dalam tata kelola investasi. Hambatan ini tidak hanya memperlambat pertumbuhan ekonomi tetapi juga mengurangi daya tarik Indonesia sebagai destinasi investasi.

Budaya birokrasi yang lebih menekankan pada formalitas dan rasa hormat kepada otoritas juga menjadi kendala. Banyak pejabat yang lebih fokus pada penghormatan yang diberikan kepada mereka daripada memberikan pelayanan yang cepat dan efisien. Kurangnya integrasi antara lembaga pusat dan daerah juga menjadi hambatan besar. Meskipun pemerintah telah mencoba menyederhanakan proses melalui sistem seperti OSS (Online Single Submission), implementasinya masih menghadapi banyak tantangan, terutama di daerah yang belum siap dengan digitalisasi.

Akibat dari permasalahan ini adalah frustrasi yang dirasakan oleh banyak investor, baik domestik maupun asing. Proses perizinan yang panjang dan tidak efisien membuat Indonesia sering kali kalah bersaing dengan negara lain yang menawarkan proses lebih sederhana dan transparan. Hal ini dapat mengurangi potensi investasi yang sebenarnya sangat dibutuhkan untuk mendukung pertumbuhan ekonomi nasional.

Untuk mengatasi masalah ini, Indonesia perlu mengambil langkah-langkah strategis. Sistem digitalisasi perizinan harus diperkuat agar semua proses dapat dilakukan secara daring dengan transparansi yang jelas. Selain itu, lapisan birokrasi perlu disederhanakan untuk mempercepat waktu dan menekan biaya perizinan. Pendidikan dan pelatihan bagi birokrat juga penting untuk mengubah mentalitas dari sekadar ingin dilayani menjadi berorientasi pada pelayanan publik. Harmonisasi regulasi pusat dan daerah harus diperkuat untuk mengurangi tumpang tindih kewenangan. Terakhir, penegakan hukum yang tegas terhadap praktik korupsi perlu dilakukan untuk memberikan efek jera dan membangun kepercayaan investor. Dengan langkah-langkah ini, serta perubahan mentalitas masyarakat untuk lebih terbuka terhadap modernisasi, diharapkan proses perizinan investasi di Indonesia dapat menjadi lebih efisien, mendukung pertumbuhan ekonomi, dan meningkatkan daya saing di kancah internasional.

Terakhir, penegakan hukum yang tegas terhadap praktik korupsi perlu dilakukan untuk memberikan efek jera dan membangun kepercayaan investor. Dengan langkah-langkah ini, serta perubahan mentalitas masyarakat untuk lebih terbuka terhadap modernisasi, diharapkan proses perizinan investasi di Indonesia dapat menjadi lebih efisien, mendukung pertumbuhan ekonomi, dan meningkatkan daya saing di kancah internasional.

Contoh lain.

1. Kasus Polisi yang Hanya Merespons Kasus Viral

Budaya feodal yang menonjol dalam birokrasi dan institusi publik, seperti kepolisian, terlihat dari kecenderungan mereka untuk lebih aktif merespons kasus-kasus yang viral di media sosial. Pola ini menunjukkan bagaimana pejabat atau institusi lebih peduli pada persepsi publik daripada menjalankan tugas dengan adil dan profesional. Dalam budaya feodal, penghormatan atau pengakuan terhadap otoritas menjadi hal utama. Respons terhadap kasus viral menjadi bentuk pencitraan untuk menjaga status atau kehormatan institusi, bukan karena komitmen terhadap penegakan hukum yang merata.

Fenomena ini menunjukkan ketergantungan pada tekanan publik, di mana kasus yang tidak mendapatkan sorotan media sering kali diabaikan. Mentalitas ini mengakar dari budaya birokrasi yang masih mengedepankan kehormatan dan pelayanan kepada atasan, dibandingkan dengan kewajiban memberikan keadilan kepada masyarakat.

2. Iringan Mobil Pejabat yang Meminta Jalan

Sikap pejabat yang meminta keistimewaan seperti iringan mobil yang memaksa pengguna jalan lain memberi prioritas adalah manifestasi nyata dari mentalitas feodal. Dalam budaya ini, pejabat sering kali merasa memiliki hak istimewa di atas masyarakat biasa, yang tercermin dalam penggunaan kendaraan dinas atau kawalan untuk mempercepat perjalanan mereka tanpa memperhatikan ketidaknyamanan masyarakat.

Fenomena ini menunjukkan adanya hierarki sosial yang tidak sehat, di mana pejabat merasa berhak mendapatkan perlakuan khusus hanya karena statusnya, meskipun posisinya seharusnya digunakan untuk melayani rakyat. Kebiasaan ini memperkuat citra negatif bahwa pejabat lebih mementingkan simbol kekuasaan daripada tanggung jawab moral dan etikanya sebagai pelayan masyarakat.

3. Pungutan Ilegal yang Dilegalkan oleh Hukum melalui Perusahaan Milik Elite Politik

Fenomena pungutan ilegal yang kemudian dilegalkan melalui mekanisme hukum atau regulasi adalah bentuk lain dari mentalitas feodal yang mengakar dalam struktur kekuasaan di Indonesia. Dalam sistem ini, pejabat atau kelompok elite menggunakan posisi mereka untuk menciptakan aturan yang menguntungkan kepentingan pribadi atau keluarganya. Contohnya adalah perusahaan milik keluarga pejabat yang diberi hak monopoli atau privilege untuk menarik pungutan tertentu dengan dasar hukum yang mereka buat sendiri.

Budaya feodal yang mewarnai birokrasi mendorong pejabat untuk menggunakan kekuasaannya sebagai alat memperkaya diri sendiri, sering kali dengan mengorbankan kesejahteraan masyarakat luas. Hal ini mencerminkan ketidakadilan struktural, di mana aturan dibuat bukan untuk melindungi rakyat, melainkan untuk melanggengkan kekuasaan dan keuntungan kelompok tertentu.

Jiwa feodal yang melekat pada pejabat di Indonesia memperlihatkan pola pikir yang mengutamakan keistimewaan pribadi di atas pelayanan publik. Kasus seperti respons selektif terhadap kasus viral, iringan mobil pejabat, hingga pungutan ilegal yang dilegalkan oleh hukum menunjukkan bagaimana budaya ini memperburuk tata kelola pemerintahan dan kepercayaan masyarakat. Untuk mengatasinya, dibutuhkan reformasi besar-besaran, mulai dari penguatan transparansi, pendidikan etika pejabat, hingga penegakan hukum yang adil tanpa pandang bulu. Dengan demikian, pejabat dapat beralih dari mentalitas feodal menuju orientasi pelayanan publik yang lebih modern dan profesional.

Mengatasi arogansi pejabat dan menciptakan perubahan besar-besaran dalam pemerintahan membutuhkan pendekatan yang komprehensif dengan melibatkan masyarakat secara aktif. Salah satu langkah utama adalah penguatan transparansi, di mana pemerintah harus memberikan akses yang lebih luas kepada masyarakat untuk memantau data terkait kebijakan, anggaran, dan keputusan pejabat. Platform pelaporan online juga perlu dikembangkan agar masyarakat dapat melaporkan kasus arogansi atau penyimpangan secara anonim, dengan jaminan bahwa laporan tersebut akan ditindaklanjuti secara transparan. Selain itu, pendidikan etika bagi pejabat menjadi keharusan, melalui pelatihan reguler yang menanamkan nilai-nilai pelayanan publik dan mencegah perilaku arogan. Kampanye nasional tentang etika publik yang melibatkan tokoh masyarakat, influencer, dan media juga bisa menjadi cara efektif untuk mengedukasi pejabat sekaligus masyarakat tentang pentingnya perilaku etis dalam pemerintahan.

Penegakan hukum yang adil dan tegas harus menjadi prioritas. Sanksi tanpa pandang bulu, seperti pencopotan jabatan atau denda berat, harus diterapkan kepada pejabat yang terbukti bersalah. Kolaborasi dengan lembaga swadaya masyarakat (LSM) dan media juga diperlukan untuk mempublikasikan hasil investigasi kasus arogansi pejabat, sehingga memberikan efek jera yang nyata. Di sisi lain, netizen dapat berperan besar dalam memviralkan kasus-kasus semacam ini. Gerakan media sosial dengan tagar tertentu dapat menjadi wadah untuk menyuarakan aspirasi publik. Masyarakat juga dapat membagikan pengalaman mereka terkait arogansi pejabat dalam bentuk video, infografis, atau tulisan yang menyentuh hati, yang kemudian dapat diperkuat oleh para influencer untuk menjangkau audiens yang lebih luas.

Edukasi bagi masyarakat juga penting agar netizen memahami peran mereka dalam mendorong perubahan. Partisipasi publik yang aktif dapat dipupuk melalui konten edukatif di media sosial, webinar, atau podcast yang mengajarkan cara menyuarakan pendapat dengan berbasis fakta dan tanpa ujaran kebencian. Selain itu, literasi digital harus ditingkatkan agar kritik yang disampaikan netizen dapat membangun dan memengaruhi perubahan nyata. Untuk menjaga keberlanjutan reformasi, pengawasan publik terhadap perilaku pejabat dapat dilakukan melalui grup diskusi atau forum daring. Perkembangan reformasi, seperti pejabat yang berhasil diubah perilakunya atau kasus yang ditangani dengan tegas, juga perlu dipublikasikan untuk menunjukkan hasil nyata kepada masyarakat.

Dengan sinergi antara pemerintah, masyarakat, dan media, serta langkah-langkah yang terstruktur, arogansi pejabat dapat diminimalisasi. Partisipasi aktif netizen dalam memviralkan kasus arogansi, didukung dengan transparansi dan penegakan hukum yang tegas, menjadi kunci untuk menciptakan pemerintahan yang modern, profesional, dan benar-benar melayani rakyat. Suara masyarakat bukan hanya untuk memviralkan, tetapi juga untuk memastikan perubahan yang nyata terjadi.

--

--

No responses yet